Sabtu, 22 Oktober 2011

SILABUS DAN RPP SEJARAH SMA

Bagi kawan-kawan yang belum punya SILABUS dan RPP SEJARAH SMA KTSP silahkan dowunload di bawah ini

SMA kelas 1
http://www.4shared.com/get/5oof5U8H/KTSPsejarahSMA1.html

SMA kelas 2
http://www.4shared.com/file/MPV-Dg7A/KTSPSejarahSMA2IPS.html

SMA kelas 3
http://www.4shared.com/file/w8dypFrN/KTSPSejarahSMA3IPS.html

SILABUS DAN RPP IPS TERPADU SMP

Bagi yang belum mempunyai silabus dan rpp ips terpadu silahkan dowunload di bawah ini

SILABUS DAN RPP SMP KELAS 1
http://www.4shared.com/file/yczezE8z/IPS_Terpadu_IX_SMP.html

SILABUS DAN RPP SMP KELAS 2
http://www.4shared.com/file/p0QsWcGF/IPS_Terpadu_VII_SMP.html

SILABUS DAN RPP SMP KELAS 3
http://www.4shared.com/file/HYgpKjVm/IPS_Terpadu_VIII_SMP.html

KUMPULAN JUDUL SKRIPSI SEJARAH ACEH


BAGI YANG BELUM MEMPUNYAI JUDUL SKRIPSI SEJARAH ACEH SILAHKAN AMBIL DI SINI SOMOGA BERMAMFAAT BAGI KAWA-KAWAN
1. OTONOMI KHUSUS DI ACEH
2.  ACEH DAERAH MODAL
3 .PROSES LAHIR GERAKAN GAM DI ACEH
4.  ACEH MASA PEMERINTAHAN IRWANDI YUSUF
5. REFERENDUM DI ACEH
6. ACEH MASA MOU
7. PERGERAKAN MAHASISWA ACEH PASCA MOU
8. PERAN PARTAI LOCAL DI ACEH
10. PERKEMBANGAN EKONOMI DI ACEH PASCA TSUNAMI
11. PROSES TERBENTUK PROPISI DAERAH DAERAH ISTIMEWA ACEH
12. PERANAN SBY DALAM MEMULIHKAN KONFLIK ACEH
13. PERANAN IRWANDI TERHADAP JKA DI ACEH
14. ACEH MASA PEMERINTAHAN ABDULLAH PUTEH
15. KODISI POLITIK ACEH PASCA MOU
16. PERAN INDEPENDEN TERHADAP PILKADA DI ACEH 2011- 2016
17. PERANAN SWEDIA TERHADAP KONFLIK ACEH
18. PERANAN AS TERHADAP PEMBANGUNAN DI ACEH PASCA TSUNAMI
19. PERAN IRWANDI TERHADAP PENDIDIKAN DI ACEH
20. PROSES BERDIRINYA KOTA BANDA ACEH
21. PERAN ISKANDAR MUDA TERHADAP INVANSI KE DELI
22. PERAN SYARIPUDIN PRAWIRA NEGARA DI ACEH
23. PROSES TERBENTUK IBU KOTA INDONESIA DI ACEH
24. PERAN DAUD BEUREEH TERHADAP KEMEDEKAAN INDONESIA
25. KONDISI MASYARAKAT ACEH SEBELUM DAN SESUDAH KONFLIK
26. PERAN ABDULLAH SYAFII TERHADAP GERAKAN ACEH MERDEKA
27. PERAN MOU TERHADAP PILKADA DI ACEH
28. KONDISI MASYARAKAT LHOK SEMAWE TERHADAP PEMBANGUNAN PT ARON
29. SAMALANGA DI BAWAH PEMERINTAHAN TUN SRILANANG
30. HUBUNGAN ACEH DAN JOHOR PADA ABAD KE 16 
31. ACEH MASA DOM (DAERAH OPERASI MILITER)
31. KONDISI ACEH MASA DARURAT MILITER
32. KONDISI ACEH MASA DARURAT SIPIL
33. KONDISI MANTAN GAM PASCA MOU
34. PERANAN MANTAN KOMBATAN GAM PASCA MOU
35. KONDISI EKONOMI MANTAN GAM PASCA MOU
36. POLITIK LUAR NEGERI GUSDUR DALAM UPAYA MENYELESAIKAN KASUS GERAKAN ACEH MERDEKA
37. PERAN QANUN NANGGRO ACEH DARUSSALAM TERHADAP MASYARAKAT ACEH
38. PERAN DAUD BEUREUEH TERHADAP MELEBURNYA PROPINSI ACEH
39. PARTISIPASI POLITIK GERAKAN ACEH MERDEKA (GAM) PASCA – PENANDATANGANAN NOTA KESEPAHAMAN PERDAMAIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (RI) DAN GAM
40. PERAN KEDUDUKAN PEREMPUAN DI ACEH PASCA KEMERDEKAAN INDONESIA
41. PERAN PERS  TERHADAP KONFLIK NANGGROE ACEH DARUSSALAM
42.  ACEH MASA AGRESI MILITER I DAN II
43.  PERAN RADIO RIMBA RAYA TERHADAP KEMERDEKAAN INDONESIA
44. PERAN GAM TERHADAP TAPOL NAPOL ACEH YANG DI CIPINANG
45. PERAN MAHASISWA ACEH TERHADAP REVORMASI INDONESIA
46. PERAN IBRAHIM HASAN TERHADAP PEMBANGUNAN PANTAI BARAT SELATAN
47. PROSES WIRANTO MENCABUT DOM ACEH
48. PERAN MASYARAKAT DAN PEMERINTAH TERHADAP KASUS RUMOH GEDONG
49. PERAN MUHAMMAD NAZAR TERHADAP REFERENDUM ACEH
50. LATAR BELAKANG PERJUANGAN IRWANDI, MUHAMMAD NAZAR DAN MUZAKIR MANAF TERHADAP ACEH DENGAN DIAKAN PILKADA 2011
51.  PERKEMBANGAN MASYAKAT ACEH SEBELUM DAN SESUDAH TSUNAMI
52. PERKEMBANGAN KEUDE KUPI ACEH TERHADAP MASUKNYA JARINGAN WIFI
53. PROSE TERBENTUK PARLOK ACEH
Said Abdullah Di Meulek

Wazir Rama Setia Kerajaan Aceh

Fokus - 10 October 2011 | 0 Komentar
Wazir Rama Setia atau Sekretaris Kerajaan merupakan jabatan sangat penting dalam Kerjaan Aceh. Ia yang mengatur administrasi kerajaan. Jabatan itu terakhir dipegang oleh Said Abdullah Di Meulek.

Oleh Iskandar Norman
Said Abdullah Di Meulek
Said Abdullah Di Meulek
Sebagai sekretaris kerajaan, Said Abdullah Di Meulek bertugas menulis dan menyimpan surat-surat penting (sarakata) yang dikeluarkan oleh raja. Sarakata-sarakata tersebut diantaranya seperti sumpah dan khutbah kerajaan dalam menghadapi ancaman penyerangan Belanda. Para ulama, uleebalang dan seluruh rakyat Aceh diserukan untuk berjihat melawan agresi tersebut.
Sebelum Belanda menyerang Kerajaan Aceh, terjadi beberapa kali surat menyurat yang meminta agar Kerajaan Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas Aceh. Namun permintaan itu ditolak dengan halus melalui surat-surat balasan dari Sultan Aceh, Sultan Alaiddin Mahmud Syah. Surat-surat itu semuanya ditulis atas instruksi sulthan kepada Said Abdullah Di Meulek.
Seperti surat balasan terhadap surat pernyataan perang oleh Belanda itu ditulis pada 26 Maret 1873, dan disampaikan kepada Sultan Aceh pada 1 April 1873. Pernyataan perang itu antara lain berbunyi. “Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama Pemerintah, menyatakan perang kepada Sulthan Aceh..”
Pernyataan perang pihak Belanda itu dijawab dengan tegas oleh Sulthan Alaiddin Mahmud Syah pada hari itu juga. “…kita hanya seorang miskin dan muda, dan kita sebagai juga Gubernemen Hindia Belanda, berada di bawah perlindungan Tuhan yang maha kuasa…,”
Menurut Ali Hasjmy dalam “Peranan Islam dalam Perang Aceh” isi surat penolakan itu terkesan lembut, tapi pada hakikatnya adalah suatu pernyataan keteguhan hati dan iman seorang muslim sejati yang hanya mengakui kekuasaan dan perlindungan Tuhan.
Untuk menghadapi ancaman Belanda itu, maka Sultan Alaiddin Mahmud Syah menggelar musyawarah kerajaan pada 10 Zulkaidah 1288 Hijriah (1872 Masehi) di dalam Mesjid Baiturrahim Daruddunia. Dalam musyawarah itu hadir para ulama besar, menteri dan uleebalang seluruh Aceh.
Kala itu Sulan Aceh menjelaskan tentang bahaya yang sedang mengancam Aceh, yakni datangnya imperialis Belanda yang akan memerangi Aceh. Terhadap ancaman itu, musyawarah melahirkan kesepakatan dan keputusan akan melakukan perang total kalau Belanda menyerang Aceh.
Sebagai tanda kesepakatan tekad itu, maka para peserta musyawarah mengucapkan sumpah. Pengambilan sumpah dipimpin oleh Kadli Mu’adhdham Mufti Besar Aceh, Syekh Marhaban bin Haji Muhammad Saleh Lambhuk dengan disaksikan oleh para alim ulama Aceh. Sumpah tersebut berbunyi:
“Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini thaat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan dari pada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.”

Sumpah ini kemudian dimasukkan dalam sarakata Baiat Kerajaan, bertulis tangan dengan huruf Arab. Naskahnya ditemukan kembali dalam dokumen peninggalan Wazir Rama Setia Kerajaan Aceh Said Abdullah Di Meulek. Naskah asli kini disimpan Said Zainal Abidin salah seorang keturunan Di Meulek, sementara foto kopinya ada di Pustaka Ali Hasjmy di Banda Aceh.

Menjadi Wakil Panglima Besar Angkatan Perang

Setelah menggelar rapat kerajaan dan pengambilan sumpah tersebut, Sultan Alaiddin Mahmud Syah menerima laporan dari Kepala Balai Siasat Kerajaan (semacam kepala intelijen negara sekarang) bahwa Belanda sudah dapat dipastikan akan menyerang Aceh.
Mendapat laporan itu, Sultan langsung membentuk kabinet perang yang dipimpin oleh tiga orang. Sultan tetap berindak sebagai kepala pemerintahan, sementara tiga pimpinan kabinet perang yakni Tuanku Hasyim Banta Muda Kadir Syah ditunjuk sebagai Wazirul Harb (Menteri Peperangan) merangkap sebagai panglima besar angkatan perang dengan pangkat Jenderal Tentara Aceh.
Kemudian Tuanku Mahmud Banta Kecil Kadir Syah diangkat sebagai Wazirul Mizan Wazirul Dakhiliyah-Wazirul Kharijiah (Menteri Kehakiman merangkap Menteri dalam dan luar negeri) merangkap Wakil Kepala Pemerintahan.
Sementara satu lagi Said Abdullah Teungku Di Meulek diangkat sebagai Wazir Rama Setia (Sekretaris Negara) merangkap Wakil Panglima Besar Angkatan Perang dengan pangkat Letnan Jenderal Tentara Aceh.
Pada Ahad (Minggu) 1 Muharram 1290 H (1873 M) Sultan melantik kabinet perang tersebut. Ketika menteri itu diambil sumpahnya di dalam Mesjid Istana Baiturrahim. Upacara pengambilan sumpah dipimpin oleh Kadli Mu’adhdham Syeh Marhaban bin Haji Lambhuk. Sumpah itu berbunyi:
“Kami bersumpah, bahwasanya kami tiga orang sekali-kali tidak mau tunduk di bawah kekuasaan Holanda, dengan menyerah diri takluk di bawah kekuasaan siteru. Maka barang siapa dalam tiga orang yang tersebut namanya dalam surat istimewa ini tunduk dan takluk ke bawah kekuasaan Holanda, maka ke atasnya kutuk Allah sampai pada anak cucunya masing-masing.” Sumpah ini juga dimasukkan dalam sarakata Baiat Kerajaan, bertulis tangan dengan huruf Arab.
Setelah selesai pengambilan sumpah, maka kabinet perang mengeluarkan maklumat kepada seluruh Uleebalang dan rakyat Aceh. Maklumat itu disampaikan oleh Wakil Panglima Perang Said Abdulah di Meulek tanggal 1 Muharram 1290 H (1873 M). Maklumat itu berjudul “Surat Nasehat Istimewa Keputusan Kerajaan Melawan Holanda.”
Sultan menyadari akan bahaya yang ditimbulkan dari ancaman perang oleh Belanda. Ia pun memberi penjelasan tentang hal itu kepada kabinet perang bentukannya. Setelah penjelasan itu diberikan, maka Wazir Rama Setia/ Wakil Panglima Besar, Letnan Jendral Said Abdullah Teungku Di Meulek membacakan surat perintah yang berisi pemberitahuan kepada uleebalang seluruh Aceh untuk menjaga pantai Aceh dari serangan Belanda, mulai dari Kuala Gigieng dan Ladong, Kampung Pande Meunasah Kandang, Kuta Reuntang, Kuta Aceh, Pante Pirak, Babah Krueng dari Beurawe dan Gunung Kesumba.
“Tiap tempat tersebut jangan tuan-tuan tinggalkan. Kalau tuan tinggalkan tempat tersebut, salah satu tempat itu, maka musuh Holanda senang saja menyerang kita Aceh,” Perintah Sultan Alaiddin Mahmud Syah.
Dalam surat itu Sultan juga meminta kepada rakyat Aceh untuk saling bantu membantu dalam usaha melawan Belanda yang akan menyerang Aceh. “Jangan tuan-tuan berkhianat kepada Agama Islam, durhaka kepada Allah dan Rasul, durhaka kepada kerajaan dan tidak setia kepada neger dan bangsa,” lanjut Sultan dalam suratnya.
Sultan juga memerintahkan untuk menghukum mati siapa saja yang memihak atau membantu Belanda (Holanda) dalam usahanya untuk menaklukkan Aceh.
Setelah memastikan bahwa Belanda akan benar-benar menyerang Aceh, maka sultan kembali mengadakan musyawarah besar di Mesjid Baiturrahman yang terletak di tengah-tengah ibu kota kerajaan Aceh. Hadir dalam musyawarah itu para ulama besar seluruh Aceh, para uleebalang, para panglima, para imam, para keuchik raja, keujruen dan pembesar kerajaan lainnya.
Setelah Sultan mejelaskan bahwa kerjaan telah bertekat bulat tidak akan tunduk pada Belanda, maka Wazir Rama Setia/ Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Aceh, Letnan Jendral Said Abdullah Teungku Di Meulek membacakan sarakata pernyataan perang. Sarakata tersebut bertanggal Kamis 20 Muharram 1290 H (1873 M).
Salah satu bagian isi sara kata tersebut adalah: “…Dan sampaikan amanah hamba kepada seluruh rakyat Aceh, timu barat, tunong baroh, tuha muda, kaya dan miskin hendaklah melawan Holanda, jangan berhenti-henti dengan apa saja, yaitu perkataan, perbuatan, senjata, khusus rakyat Aceh dan umumnya rakyat bawah angin, jangan takut, jangan ngeri. Kita berperang dua menghadap maut, yaitu syahid, kedua menang, ketika tidak ada sekali-kali yaitu kalah dengan menyerah diri kepada Holanda…”
Pada bagian surat lainnya Sultan Aceh kembali meminta dengan tegas agar terus melawan Belanda dan tidak pernah tunduk apalagi menyerah kepada Belanda.
“…Maka itulah wahai sekalian hulubalang Pidie semuanya, dan sekalian hulubalang Pase semuanya, Aceh Timu semuanya dan sekalian hulubalang Aceh Tengah semuanya dan sekalian hulubalang Aceh Barat semuanya, dan sekalian hulubalang Aceh Selatan semuanya, datok dan keujruen dans ekalian rakyat pada masing-masing tempat daerah tersebut, hendajlah padas ekalian tuan-tuan mengikuti menurut melawan Holanda berganti-ganti sehingga berhenti Holanda musuh kita, tidak lagi duduk di atas bumi negeri Aceh khususnya dan bumi bawah angin umumnya…”
Dengan mengedepankan anjuran agama untuk melawan kafir, rakyat Aceh diajak untuk menyumbangkan harta benda, tenaga dan nyawa untuk menghalau Belanda masuk ke Aceh. Untuk memberikan contoh pada rakyat, maka para petinggi Kerajaan Aceh terlebih dahulu menyumbangkan hartanya untuk digunakan dalam perang melawan Belanda.
Saat itu, Wazir Rama Setia/Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Aceh, Letnan Jendral Said Abdullah Teungku Di Meulek menyumbang 16 kilogram emas dan 4.700 riyal untuk biaya perang. Sumbangan itu diberikan pada bulan Rabiul Awal 1290 H (1873 M) dan dicatat dalam sarakata risalah sedekah bertulis tangan huruf Arab, yang kemudian menjadi dokumen kerajaan peninggalan Wazir Rama Setia Kerajaan Aceh.
Untuk menghadapi ancaman Belanda yang kian nyata menyerang kedaulatan Aceh, Sultan Alaiddin Mahmud Syah bersama kabinet perangnya terus mengadakan berbagai persiapan untuk menghadapi kemungkinan penyerangan Belanda tersebut.
Sultan mengemukakan ancaman Belanda tersebut kepada Majelis Mahkamah Rakyat yang beranggotakan 73 orang wakil rakyat. Hal ini sebagaimana tersirat dalam Kanun Meukuta Alam halaman 90-91, naskah lama bertulis tangan dengan huruf Arab.
Dalam dokumen lama kerajaan Aceh disebutkan, ketika pada masa-masa tegang menghadapi ancaman Belanda, Pada Jumat 30 Zulhijjah 1289 (1872) Kerajaan Aceh menggelar sidang istimewa di dalam Mesjid Baiturrahman Bandar Aceh Darussalam. Sidang istimewa itu disebut sebagai sidang istimewa Balai Majelis Mahkamah Rakyat.
Dalam sidang itu disampaikan khutbah kerajaan yang dibacakan oleh Said Abdullah Teungku Di Meulek dalam kedudukannya sebagai Wazir Rama Setia (Sekretaris Kerajaan) dan sebagai Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Aceh dengan pangkat Letnan Jendral.
Sidang istimewa itu selain dihadiri oleh 73 orang anggota Balai majelis Mahkamah Rakyat juga diundang para uleebalang, para ulama, pimpinan rakyat dan para perwira angkatan perang.
Khutbah kerajaan yang dibacakan Said Abdullah Teungku Di Meulek dalam sidang istimewa itu diantaranya berisi perintah dari keputusan mufakat kerajaan untuk menghadapi Belanda.

Siapa Di Meulek?

Pada masa mudanya, Said Abdullah di Meulek sudah aktif dalam perpolitikan kerajaan Aceh. Pada masa Aceh dipimpin oleh Sulthan Sulaiman Alaiddin Ali Iskandar Syah (1251-1273 Hijriah = 1836-1857 Masehi) ia diperbantukan pada badan Wazir Badlul Muluk (Kementrian Luar Negeri).
Pada tahun 1271 Hijriah (1855 Masehi) ia menjadi anggota delegasi Aceh ke Padang untuk melakukan perundingan dengan Belanda, yang telah mencaplok wilayah Kerajaan Aceh di pesisir barat dan timur Sumatera. Pengalaman di kementrian luar negeri itu kemudian kemudian mengantarnya menjadi salah seorang mentri di kerajaan Aceh.
Pada masa pemerintahan Sulthan Ibrahim Alaiddin Mansur Syah, ia diangkat menjadi Wazir Rama Setia Keurukon Kitabul Muluk (Menteri Sekretaris Negara). Jabatan itu dipegangnya hingga masa pemerintahan Sulthan Alaiddin Mahmud Syah (1286-1290 Hijriah = 1870-1874 Masehi). Kemudian pada masa perang Aceh melawan Belanda ia merangkap jabatan sebagai Wakil Panglima Besar Perang Aceh dengan pangkat Letnan Jendral.
Sebagai Sekretaris Kerajaan Aceh, Said Abdullah Di Meulek banyak menulis naskah-naskah penting dari Kerajaan Aceh. Naskah itu disimpan dalam Darul Asar (mesium) Kerajaan Aceh yang terletak di samping Mesjid Baiturrahim dalam Kraton Daruddunia. Mesium itu pada masa perang dengan Belanda dimusnahkan oleh Belanda bersamaan dengan diruntuhkannya istana kerajaan Aceh.
Said Abdullah Di Meulek merupakan keturunan dari Syarif Hasyim Jamalullail Di Meulek, yang merupakan sulthan Aceh pertama dari dinasti Syarif setelah menggantikan dinasti wanita (para sulthanah-red) yang memerintah di Kerjaaan Aceh.
Ali Hasjmy dalam “Peranan Islam dalam Perang Aceh” mengungkapkan, kekaknya Said Abdullah Di Meulek tersebut naik tahta menjadi sulthan Aceh melalui perebutan kekuasaan tanpa pertumpahan darah, pada Rabu 20 Rabiul Awal 1109 Hijriah (1699 Masehi).
Ia naik tahta mengantikan Sulthanan Aceh yang terakhir, Sri Ratu Kamalatsyah yang diturunkan dari jabatannya akibat perebutan kekuasaan yang dilakukan Syarif Hasyim. Setelah diangkat menjadi raja, Syarif Hasyim digelar Sulthan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamalulail. Ia memerintah sejak 1110 – 1113 Hijriah (1699-1702 Masehi).
Sebelumnya, Syarif Hasyim merupakan anggota delegasi Syarif Mekkah yang diutus ke Aceh pada zaman pemerintahan Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088-1098 Hijriah = 1678 -1688 Masehi). Ketika delegasi itu kembali ke Mekkah, Syarif Hasyim memilih untuk menetap di Aceh. Ia kemudian diangkat menjadi penasehat kerajaan, sampai pada masa Sultanah Kamalatsyah. Ia kemudian menjatuhkan ratu itu dari tampuk kekuasaan dengan alasan perempuan tidak boleh menajdi raja.
Pemerintahan Dinasti Syarif ini berlangsung hingga tahun 1139 Hijriah (1726 Masehi) dengan sulthan terakhir yang bergelar Shultan Syamsul Alam Wandi Teubeng yang memerintah hanya satu bulan.[]

Gagalnya Perjanjian Aceh-Amerika



Muhammad Arifin, Putra Mahkota Moko-moko, Bengkulu memainkan peran ganda dalam perang Aceh. Sebagai mata-mata Belanda ia menyeret Syahbandar Kerajaan Aceh, Panglima Muhammad Tibang membelot ke pihak Belanda di Singapura pada akhir 1872. Perjanjian Aceh dengan Amerika Serikat pun gagal.
Arifin (Ist)
SIAPA sebenarnya Tengku Arifin yang berhasil membuat Belanda mempercepat invansinya ke Aceh pada Maret 1873 itu? Menurut Menurut M Nur El Ibrahimi dalam buku Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh, Tengku Muhammad Arifin merupakan anak seorang pangeran asal Bengkulu yang mempunyai hubungan dengan kraton Aceh.
Ia pernah menikah dengan kemenakan Sultan Aceh. Ia berhasil meyakinkan Panglima Tibang untuk menggunakan jasanya sebagai penerjemah di Singapura karena mengaku kenal baik dengan Konsul Amerika di Singapura, Mayor Studer.
Tengku Muhammad Arifin sebelumnya memang pernah bertemu dengan Studer. Ketika itu ia meminta bantuan kepada Konsul Amerika di Singapura tersebut untuk meminta bantuan agar ayahnya kembali mendapat mahkota kerajaan yang telah dicopot oleh Belanda.
Pertemuan kedua dengan Studer dilakukan Tengku Muhammad Arifin ketika mencoba menyeret Amerika dalam masalah Aceh. Sebelum Panglima Tibang ke Singapura Tengku Muhammad Arifin pernah menemui Panglima Angkatan laut Amerika di Hongkong, Laksaman Jenkis. Pertemuan dengan Jenkis itu dilakukan ketika ia singah di Singapura dalam perjalannya ke Kalkuta.
Saat bertemu dengan Jenkis di Singapura, Tengku Muhammad Arifin berpura-pura sebagai pangeran yang mempunyai hubungan dengan kerajaan Aceh. Kepda Jenkis ia menanyakan apakah tidak mempunyai keinginan untuk mengikat suatu perjanjian dengan Kerajaan Aceh.
Namun Jenkins menjawab bahwa Amerika tidak seperti Inggris dan Belanda. Amerika tidak mempunyai ambisi teritorial. Jawaban tersebut membuat Arifin tidak berani membuka mulut lagi. “Jadi, usaha Arifin untuk menyeret Amerika intervensi ke dalam hubungan Belanda dengan Aceh sudah dimulai sebelum Panglima Tibang tiba di Singapura,” jelas M Nur El Ibrahimy.
Namun Arifin terus memainkan peran gandanya. Di satu sisi ia penerjemah Panglima Tibang, di sisi lain ia adalah mata-mata Belanda yang menyampaikan segala gerak-gerik Panglima Tibang di Singapura kepada Belanda. Hal inilah salah satu penyebab meletusnya perang Aceh dengan Belanda.
Hal itu terkuak ketika Jamer Warren Gould, seorang penulis asal Amerika Serikat, ahli internasional relation dari California, melakukan penelitian untuk mengetahui sebab-musabab perang Aceh. Tahun 1957 ia berhasil meyakinkan pemerintah Belanda untuk membuka dokumen  rahasia tentang Aceh. Kisah peran ganda Arifin dan pengkhianatan Panglima Tibang pun terungkap. Sebelumnya tak ada yang tahu bagaimana peristiwa bersejarah itu terjadi.
Hasil penelitian itu dimuat dalam majalah Annals of Iowa. Dunia pun terperanjat, karena peristiwa itu sudah 80 tahun ditutupi Belanda. Kisahnya bermula dari Panglima Tibang selaku utusan kerajaan Aceh dengan Konsul Amerika di Singapura, Mayor Studer.
Pertemuan itu juga dinilai sebagai gebrakan berani diplomasi luar negeri Aceh dalam mempertahankan kedaulatannya. Pertemuan itu oleh Belanda disebut sebagai Het  Veraad van Singapore yang bermakna pengkhianatan di Singapura.
Panglima Muhammad Tibang menjumpai Studer untuk membahas perjanjian kerja sama antara Aceh dan Amerika, karena itu Studer dianggap Belanda sebagai pengkhianat yang ingin berkomplotan dengan kerajaan Aceh.
Maklum hubungan Aceh dengan Belanda saat itu tidak baik. Sultan Aceh dituduh berkhianat karena melanggar perjanjian perdamaian dan persahabatan dengan kerajaan Belanda. Perjanjian itu dibuat pada tahun 1857. Panglima Tibang dan Mayor Studer dinilai Belanda bertanggung jawab terjadap meletusnya perang Aceh dengan Belanda.
Hasil penelitian Jamer Warren Gould mengungkapkan bahwa pengkhianatan di Singapura (Het Veraad van Singapore) yang dituduh Belanda ternyata bukan Mayor Studer dan Panglima Tibang, tapi Tengku Muhammad Arifin, seorang mata-mata Belanda dan Read Konsul Belanda di Singapura.
Peristiwa tentang Aceh itu lebih mengejutkan lagi bagi dunia internasional setelah terbitnya buku De Atjeh Oorlog karangan Paul van’t Veer. Melalui buku itu dunia internasional lebih mengetahui apa yang sebenarnya disebutkan Belanda Het Veraad van Singapore yang telah menjerumuskan Aceh dalam perang panjang dengan Belanda.
Di sana terungkap, setelah Panglima Tibang tiba di Kutaraja dari Singapura, suatu berita penting sampai ke telinga Sultan Aceh, yaitu Belanda akan menyampaikan ultimatum kepada Sultan Aceh. Atas perintah Sultan, Panglima Tibang mendadak berangkat ke Riau untuk meminta keterangan kepada Schiff, Residen Riau yang melaksanakan operasi politik ke Aceh dan sebelah timur. Sebelah barat operasi politik ke Aceh dilaksanakan oleh van Swieten, Gubernur Sumatra Barat.
Panglima Tibang berangkat bersama delegasi Kerajaan Aceh yang terdiri dari Tgk Nyak Muhammad, Tgk Lahuda Muhammad Said, Tgk Nyak Akob, serta Tgk Nyak Agam. Panglima Tibang bertindak sebagai ketua delegasi tersebut. Kepada delegasi Aceh Schiff membantah bahwa Belanda akan menyampaikan ultimatumnya. Belanda tetap beritikad baik terhadap Sultan dan tetap memegang teguh perdamaian dan persahabatan dengan Aceh.
Setelah sebulan di Riau, Panglima Tibang diantar pulang ke Aceh dengan kapal perang Marnix. Tetapi ia mengatakan kepada Schiff ingin singgah ke Singapura untuk membeli sebuah kapal api guna kepentingan transportasi di Aceh.
Di Singapura Panglima Tibang melakukan pertemuan dengan Konsul Amerika, Mayor Studer. Seperti pada kesempatan pertama, kali ini Panglima Tibang juga ditemani oleh Tengku Muhammad Arifin, yakni mata-mata Belanda yang diutuskan oleh Konsul Belanda di Singapura, Read setelah menerima informasi dari Schiff di Riau.
Dalam pertemuan itu Tengku Muhammad Arifin dipakai oleh Panglima Tibang sebagai penerjemah. Padahal sebelumnya Panglima Tibang telah menggunakan orang lain, namun atas bujuk rayu Tengku Muhammad Arifin penerjemah itu tidak dipakai. Maka muluslah usaha Tengku Muhammad Arifin untuk memata-matai pertemuan Panglima Tibang dengan Studer.
Panglima Muhammad Tibang meminta kepada Studer untuk membuat naskah perjanjian di Singapura dan dikirim ke Washintong, Amerika Serikat secepatnya. Ia menilai perjanjian itu sangat mendesak untuk dibuat. Tapi Studer mengatakan ia tidak punya wewenang untuk membuat perjanjian tersebut. Meski demikain ia berjanji mengirim perjanjian yang telah ditandatangani oleh Sultan Aceh kepada Pemerintah Amerika.
Mereka kemudian mendiskusikan masalah-masalah yang dirasakan layak menjadi isi dan perjanjian Aceh-Amerika, yakni mengenai hal-hal yang diinginkan oleh Amerika dan yang dapat diberikan oleh Aceh dalam batas-batas yang wajar.
Arifin yang ternyata mata-mata Belanda, membocorkan isi pertemuan itu kepada Konsul Belanda di Singapura, Read. Namun apa yang disampaikannya berbeda jauh dengan  isi pembicaraan yang ia dengar.
Kepada Read ia mengatakan bahwa Studer telah menyusun sebuah perjanjian antara Aceh dengan Amerika yang terdiri atas 12 pasal dan akan menulis surat kepada Laksamana Jenkis pemipin armada Amerika di Hongkong untuk berangkat ke Aceh. Dengan kebohonganya itu Arifin meminta kepada Belanda untuk segera mengirim kapal perangnya ke Aceh.

Kebohongan Arifin Terungkap

Kebohongan Arifin terungkap dalam surat Read tertanggal 15 Juni 1873 kepada Menteri Luar Negeri Belanda, Gericke yang isinya “Untuk memastikan isi perjanjian itu Muhammad Arifin telah membuatnya begitu katanya dalam bentuk perjanjian yang pernah dibuat antara beberapa negara dengan Siam, rancangan yang dibacakan sendiri oleh Muhammad Arifin kepada Studer, tetapi Studer kurang setuju dengan rancangan perjanjian tersebut. Ia mengambil sebuah buku, kemudian membaca teks perjanjian Brunei dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh seorang kerani konsulat, sedangkan Arifin menulisnya”.
Mayor Studer sendiri kemudian menerangkan dalam laporannya, bahwa sama sekali tidak bermaksud mengusulkan diadakannya perjanjian dengan Aceh. Akan tetapi, Arifin lah yang mengajukan dengan membawa naskah rancangan perjanjian itu kepadanya. Panglima Tibang hanya membawa sebuah surat dari Sultan Aceh yang meminta bantuan Amerika Serikat.
Keterangan Studer ini sesuai dengan pengakuan Arifin di dalam proses verbal yang dibuat di depan Jenderal Verspijk, Kepala Biro Perbekalan Peperangan Belanda yang sedang mempersiapkan ekspedisi Belanda kedua terhadap Aceh.
Rancangan perjanjian yang dibuat oleh Arifin bukan diserahkan kepada Studer dalam pertemuan antara Studer dan Panglima Tibang, tetapi diserahkan pada waktu Arifin datang sendirian mengunjungi Studer beberapa waktu setelah pertemuan dengan Panglima Tibang usai.
Sebenarnya, setelah pertemuan antara Panglima Tibang dan Studer usai, Arifin tidak langsung mengirimkan laporan kepada Read karena pada waktu itu Read berada di Bangkok. Samua hal yang tidak dapat dimengerti adalah mengapa Arifin tidak menyampaikan laporan tersebut kepada Meir, wakil Read.
Baru dua minggu setelah itu Arifin menulis surat kepada Read di Bangkok mengenai pertemuan antara Panglima Tibang dan Studer. Setelah menerima surat Arifin, Read langsung kembali ke Singapura. Segera Arifin diperintahkan untuk berangkat ke Riau menyampaikan laporan tersebut kepada Residen Schiff. Ia diberi uang saku $ 2,00 permil dan $ 25,00 uang jalan.

Terungkapnya Sebuah Intrik

Setelah dua hari berada di Singapura Read mengirim kawat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Loudon mengenai pertemuan Panglima Tibang dengan Studer. Isinya, “Intrik-intrik yang sangat serius antara perutusan Aceh dan konsul Amerika di Singapura terungkap; hal ini memerlukan pertimbangan langsung. Perincian dikirim dengan kapal yang pertama.”
Keesokan harinya, Read mengirimkan laporan seperti berikut: “Perutusan menyampaikan kepada Konsul Italia dan Amerika surat Sultan Aceh yang meminta bantuan unruk menghadapi Belanda. Konsul Amerika berjanji akan menyurati Laksamana Jenkins di Cina dan telah menyusun sebuah perjanjian 12 pasal yang akan ditandatangani oleh Sultan dan akan mengirimkan kembali. Orang-orang Amerika siap sedia datang dalam waktu dua bulan. Informasi ini kiranya mendapat kepercayaan sepenuhnya”.
Laporan Read tersebut menimbulkan kegemparan di Batavia. Sebuah telegram yang mengandung pokok-pokok soal yang terdapat dalam laporan Read dikirim oleh Loudon ke Den Haag. Pada tanggal 18 Februari 1873 Menteri Luar Negeri Belanda memohon kepada raja untuk menjamin keamanan di Aceh seperti yang diwajibkan oleh perjanjian 1824.
Pada hari yang sama Menteri Luar Negeri Belanda meminta kepada Washington dan Roma untuk menyangkal tindakan-tindakan konsulnya di Singapura dan menjernihkan permasalahan bersama dengan negara-negara besar lainnya, atas dasar bahwa perlindungan terhadap perdagangan di perairan Aceh menjadi kewajiban Belanda.
Di samping itu, Kementerian Luar Negeri Belanda mengirimkan nota kuasa kepada Duta Besar Belanda di Washington untuk menyampaikan kepada Fish, Menteri Luar Negeri Aimerika, suatu nota yang menggambarkan bahwa Belanda telah melaksanakan kewajibannya menjamin keamanan pelayaran dan perdagangan di perairan Aceh sesuai dengan isi perjanjian yang ditandatanganinya dengan Inggris.
Selain itu, disebutkan pula Belanda telah mengetahui bahwa perutusan Aceh telah mengadakan hubungan dengan Konsul Amerika di Singapura. Belanda bermaksud mengadakan suatu perjanjian dengan mereka. Bahkan lebih jauh, Amerika disebutkan sedang bersiap-siap memanggil panglima angkatan lautnya di Laut Cina agar datang membawa kapal perangnya ke perairan Aceh.
Pemerintah Belanda memandang tindakan-tindakan tersebut dapat meningkatkan perlawanan Aceh, dan yakin bahwa Pemerintah Amerika Serikat tidak bermaksud merintangi Belanda, bahkan sebaliknya akan bersimpati dan memberikan dukungan dalam usaha melaksanakan action civilisatrice (usaha membawa peradaban).
Sebagai langkah selanjutnya Belanda memohon kepada Menteri Luar Negeri Amerika agar meminta Studer menghentikan usahanya mengadakan peranjian dengan perutusan Aceh.
Pada tanggal 19 Februari 1873 Den Haag mengirim kawat kepada Batavia sebagai berikut: “Jika Anda tidak merasa bimbang terhadap kebenaran informasi Konsul Singapura, kirimkan angkatan laut yang kuat ke Aceh untuk meminta penjelasan dan pertanggungjawaban atas sikap bermuka dua dan khianat itu.”
Kawat tersebut merupakan lampu hijau bagi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Loudon) untuk menggempur Aceh. Memang, inilah yang ditunggu-tunggu Loudon meskipun sewaktu menjadi Menteri Jajahan menganut politik non-intervention atau tidak campur tangan.
Setelah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Loudon merupakan seorang penjajah yang sangat bernafsu untuk menaklukkan Aceh. Ia menanggapi hal itu dengan mengatakan.  “Selama kedaulatan kita tidak diakui, tetap ada campur tangan asing yang mengancam kita seperti pedang Democles.”
Pada 21 Februari 1873 Loudon mengadakan rapat Dewan Hindia yang dihadiri juga oleh pemimpin-pernimpin militer. Sehari kemudian ia mengirim telegram ke Den Haag, Belanda isinya: “Dewan Hindia di Batavia yang saya pimpin dengan dihadiri oleh jenderal dan laksamana, menyetujui usul saya untuk mengirim secepat mungkin komisi yang didukung oleh empat batalyon ke Aceh untuk menyampaikan ultimatum, adakala pengakuan kedaulatan, adakala perang. Kita akan hadapi Amerika dengan fait accompli. Presiden Nienwenhuijzen adalah orangnya.”
Hal inilah yang kemudian membuat Belanda mengultimatum Aceh yang akhirnya membuat perang Aceh dengan Belanda meletus.[]
Penulis Iskandar Norman, Wartawan Harian Aceh.